Mens rea mendadak viral dimedia sosial, istilah pidana ini viral, tatkala pakar hukum pidana Romli Atmasasmita*, menyampaikan pernyataannya menyoroti pelaksanaan formula e. Menurut Romli, ada *mens rea* (niat jahat) Anies dalam pelaksanaan formula e. Alasannya karena ada unsur pemaksaan kehendak, dimana anggaran formula e tidak terdapat dalam induk buku APBD DKI. Tentu saja pendapat subjektif Romli, harus diikutkan dengan unsur objektif phycycal dalam menilai suatu peristiwa pidana, yaitu unsur perbuatan melanggar UU *(actus reus)* yang secara umum menjadi landasan penyelidikan dilakukan oleh lembaga penegak hukum.
Selaku Gubernur DKI, Anies oleh UU diberi wewenang untuk menyusun dan menjalankan Anggaran, tentu saja dengan persetujuan DPRD. secara umum, harus dipahami bahwa setiap nomenklatur anggaran tidak mesti secara menyeluruh menyebut serta merta jenis kegiatan didalam buku induk APBD DKI, apalagi pada jenis kegiatan yang bersifat promosi pariwisata. Selain itu, Anies juga punya wewenang sebagai Gubernur mengatur pembiayaan kegiatan dengan skema kerjasama pembiayaan dengan pihak ketiga. Formula e adalah penjabaran tehnis kegiatan yang secara adminitrasi sepenuhnya menjadi wewenang Anies sebagai kepala daerah. Sebab itu tidak tepat jika disebut ada unsur *Mens Rea*, ketika Anies menyusun rencana anggaran pelaksanaan formula e.
Mens rea (adanya niat jahat) dalam delik pidana adalah salah satu unsur dalam menilai adanya perbuatan pidana atau tidak yang dilakukan oleh seseorang terduga. Tetapi harus ingat bahwa ada unsur objektif/physical yaitu *actus reus* yang penerapannya didahulukan dalam praktek penyelidikan pidana.
Hal ini seiring dengan prinsip hukum pidana yang tercermin dalam *asas legalitas* Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa _*suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada*_.
Dalam perpektif hukum pidana, yang didahulukan dalam menilai formula e, apakah memenuhi unsur pidana atau tidak?, pendekatan utama yang digunakan adalah pendekatan unsur objektif. Tentunya dalam formula e, penyidik KPK tidak saja menilai adanya *mens rea* (niat jahat), karena selain tidak cukup alasan, juga ada unsur *actus reus* sebagai unsur melengkapi unsur sebuah delik pidana.
Lalu pertanyaannya, apakah formula e telah memenuhi unsur adanya suatu tindak pidana korupsi? mari kita uraikan 4 (empat) unsur penting dalam merumuskan adanya suatu tindak pidana korupsi, yaitu pertama, *seseorang*, kedua, *adanya perbuatan melawan hukum*, ketiga, *menguntungkan diri sendiri/orang lain*. Keempat, *ada kerugian negara* Apakah keempat faktor diatas sudah ditemukan KPK dalam merumuskan dugaan adanya tindak pidana korupsi pada formula e?. sehingga KPK memutuskan untuk melakukan penyelidikan? Dengan kata lain dugaan kuat minimal didasarkan pada dua alat bukti permulaan.
Baca juga:
Zainal Bintang: Mafia Minyak Goreng Itu….
|
Pada sisi lain, kita ketahui bahwa BPK adalah lembaga berwenang yang oleh UU, punya otoritas untuk menyatakan adanya kerugian negara atau tidak pada Anggaran Formula e, tentunya dilakukan atas dasar audit. Dalam hal ini, apakah BPK sudah menyampaikan hasil audit BPK bahwa terdapat unsur kerugian negara dalam pelaksanaan formula e?. Berbagai sumber media massa menyebutkan bahwa hasil audit BPK tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara dalam penggunaan anggaran formula e.
Pertanyaannya, Kepentingan penyelidikan KPK atas dasar apa?, pertanyaan ini membuat publik pesimis dengan independensi KPK. Selain diduga motif penyelidikan KPK tidak berdasar hukum, juga tidak cukup bukti untuk itu. Oleh karena itu KPK harus menjawabnya dengan fakta hukum. Agar terang dan sesuai kepentingan hukum. Dengan fakta hukum KPK harus bekerja, tentu saja dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, integritas KPK akan selalu terjaga dan supremasi hukum ditegakkan atas kepentingan hukum, bukan atas kepentingan kelompok dan atau atas dasar tekanan kekuasaan tertentu.
Baca juga:
Ilham Bintang: Ya Ampun, Presiden
|
(Rilis)